Simfoni sore yang hilang: hujan, kopi dan gorengan
Kopi hitam, gorengan hangat, dan rokok. Apa arti sebuah sore? Bagi saya, itu adalah trio sederhana yang menyimpan kenangan. Sore seperti ini adalah oase kecil di tengah rutinitas yang melelahkan.
Seperti hari itu, setelah melewati rangkaian rutinitas yang berat, saya memutuskan untuk mampir di gerobak gorengan langganan. Langit mendung, dan aroma tempe goreng yang baru diangkat dari minyak merasuk ke udara, seperti undangan yang sulit ditolak. Saat mencium baunya, hati ini rasanya ingin bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, saya melangkah ke sudut favorit sebuah tempat di dekat jendela, di mana pemandangan hujan jatuh di atas tanah begitu dekat dan menenangkan. Dengan penuh rasa sabar, saya menyiapkan secangkir kopi hitam, menuangnya perlahan hingga uapnya memenuhi ruangan, mengundang aroma pekat yang dalam.
Saat duduk di sana, saya membiarkan diri terhanyut oleh setiap tetes hujan yang meluncur di kaca jendela, menciptakan melodi lembut yang teratur. Bunyi gemericik itu seperti simfoni alami, dengan angin sebagai konduktornya. Perlahan, saya menggigit gorengan pertama; suara renyahnya yang selalu saya suka kini berpadu dengan bunyi hujan, menambah kedalaman dalam musik sore itu. Lalu, saya menyeruput kopi, membiarkan rasa pahitnya menggantung di lidah, memberikan sensasi hangat yang tak tertandingi. Sore ini adalah kesempurnaan dalam ketenangan.
Namun, di tengah kenikmatan ini, saya menyadari ada yang hilang. Rokok. Ya, rokok terakhir saya habis. Rasanya seperti menemukan halaman terakhir dari buku favorit yang hilang—karya itu belum selesai. Terdiam sejenak, saya mendapati sore yang tadinya sempurna kini terasa sedikit hampa. Rokok adalah sentuhan akhir, jeda sejenak yang memberi napas panjang di antara hiruk-pikuk hidup yang kadang tak memberi ruang.
Bayangkan, dengan sebatang rokok, seharusnya saya bisa menarik napas panjang, menghirup setiap aroma kopi dan tanah yang basah itu, menghembuskannya perlahan, menyaksikan asap tipis yang membaur dengan uap kopi yang menari di udara. Tanpa rokok, simfoni ini seakan kehilangan satu instrumen penting, membuat semuanya tak lagi selaras. Seperti melodi yang terhenti sebelum mencapai klimaksnya.
Tapi begitulah sore, selalu punya cara untuk mengingatkan bahwa hidup jarang sempurna. Hujan, kopi, gorengan, dan keinginan sederhana yang tak terpenuhi. Namun, justru dalam ketidaksempurnaan itulah, sore ini terbingkai, menjadi kisah kecil yang takkan terlupakan.
Dan ternyata sedih itu sederhana kopi sudah siap, gorengan sudah mantap, hujan gerimis, "rokok habis".
Bagaimana dengan Anda? Apa makna sore bagi Anda? Silakan berbagi cerita di kolom komentar. https://www.hendriariska.eu.org/